GURU YANG MENGGUGAH DAN MERUBAH
Oleh Abu Rufaydah
Diantara kisah yang menakjubkan dari kehidupan guru bersama muridnya adalah kisah Ibnu Jauzi rahimahullah dan kedua gurunya yaitu Abdul Wahhab Al Anmathi dan Abu Manshur Al Jawaliki Rahimahullah Ta’ala dimana Ibnul Jauzi Rahimahullah (W. 597 H) mengatakan dalam Kitab Shoidul Khothir, Fasal al Ulama wa al-‘Amiluun, beliau berkata :
“Aku banyak bertemu para Syaikh, keadaan mereka berbeda-beda, keilmuan mereka juga bertingkat-tingkat. Namun yang paling bermanfaat bagiku dalam bergaul dengannya adalah orang yang mengamalkan ilmunya, meskipun ada yang lebih alim dari dia.
Aku juga telah bertemu para ulama hadits, mereka punya hapalan dan keilmuan, namun mereka bermudah-mudahan dalam ghibah yang mereka legalkan dengan label ‘jarh wat ta’dil’. Mereka juga mengambil upah dari bacaan hadits, dan segera menjawab pertanyaan agar terjaga namanya, meski dia jatuh dalam kesalahan.
Aku juga telah bertemu dengan Abdul Wahhab Al Anmathi Rahimahullah, dia dulu berjalan di atas ‘aturan’ salaf, ghibah tidak pernah terdengar di majlisnya, tidak pula mengambil upah dari kegiatan memperdengarkan haditsnya. Dan aku pernah membaca hadits roqo’iq (hadits-hadits yang melembutkan hati) di depannya, maka diapun menangis, dan menangis lama, sehingga tangisan itu merasuk ke dalam hatiku -padahal saat itu aku masih kecil-, dan membangun pilar-pilar akhlak (dalam jiwaku). Dia memang serupa dengan ciri-cirinya para syaikh yang sifat-sifat mereka kami dengar dari nukilan (kitab).
Aku juga telah bertemu dengan Abu Manshur Al Jawaliki Rahimahullah. Dia banyak diam, sangat berhati-hati dalam ucapannya, sangat kuat ilmunya, dan muhaqqiq. Namun begitu, kadang ketika ditanya masalah yang mudah, yang sebagian muridnya akan segera menjawabnya, dia berhenti menjawabnya hingga yakin dengan jawabannya. Dia itu banyak puasa dan pendiam.
Manfaat yang kudapatkan dengan melihat dua orang ini -Al Anmathi dan Al Jawaliqi-, lebih banyak dari manfaat yang kuambil dari selain dua orang ini. Sehingga dari keadaan ini aku paham, bahwa petunjuk dengan tindakan lebih kuat pengaruhnya daripada petunjuk dengan ucapan.
Aku juga melihat para syeikh yang memiliki banyak waktu berkholwat (dengan teman-temannya) untuk nyantai dan canda. Akibatnya mereka jauh dari hati manusia, dan keteledoran mereka itu mencerai-beraikan kembali ilmu yang sudah mereka kumpulkan, sehingga ketika hidupnya, mereka kurang bermanfaat, dan ketika meninggalnya mereka dilalaikan, dan hampir tidak ada seorang pun yang tertarik dengan kitab-kitab mereka.
Maka hendaklah kalian menjaga ilmu dengan amal, karena ini merupakan pokok yang paling mendasar. Sungguh orang yang paling kasihan adalah orang yang menyia-nyiakan umurnya dalam ilmu yang tidak diamalkan, hingga hilang darinya kenikmatan dunia dan kebaikan akhirat, lalu dia datang merugi (di akhirat), padahal dia harus menanggung hujjah yang kuat terhadapnya”.
Sekarang, dimana posisi kita dibandingkan mereka ? Sudahkah kita menjadi guru yang baik untuk murid-murid kita ? Guru yang diamnya penuh dengan hikmah dan bicaranya penuh manfaat. Seorang guru tidak sekedar memiliki hafalan yang banyak dan pengetahuan yang luas, namun lebih dari itu ia wajib mengamalkan ilmunya.
Membaca sirah Nabi Shalalllahu Alaihi Wasallam dalam mengajarkan agama kepada sahabatnya sangat menarik untuk dikaji dan dipelajari. Terkadang majis beliau hening dengan perhatian sahabat pada penjelasan Nabi, kadang pula sahabat dibuatnya menangis dengan nasihat yang disampaikan Nabi. Lebih dari itu Nabi adalah orang paling lama shalat malamnya dan yang paling rajin puasanya. Berbicara sedekah beliaulah yang paling dermawan. maka tak heran jika para sahabat dan orang setelahnya begitu mengagumi nabi .
Setiap murid akan memiliki kesan tersendiri terhadap guru-gurunya. Maka jadilah guru yang memiliki kesan positif terhadap murid-muridnya. Sehingga kehadiran kita menjadi penggugah dan pengubah kehidupan mereka.
Abu Rufaydah Endang Hermawan.
Cianjur, 15 Sya’ban 1439 H